Pulau Bali yang termasyur sebagai
Pulau Surga dengan sebutan Pulau Seribu Pura.
Kemasyuran Bali yang sudah sangat populer dari sejak dahulu kala
menjadikan kemolekan pulau Bali menjadi incaran banyak orang ingin datang ke
Bali dengan berbagai tujuan masing-masing.
Semakin banyak pendatang yang
meluncur ke Bali, baik sebagai turis yang sekedar ingin berlibur menikmati
budaya dan keindahan pulau Bali. Banyak pula yang
menetap di Bali karena mendapatkan kenyamanan hidup dan melangsungkan kehidupan
hingga menumbuhkan keturunan sebagai generasi penerus selanjutnya.
Bali yang terkenal dengan slogan
“ Ajeg Bali “, perlu semakin berbenah di
sana-sini untuk tetap eksis menjaga agar Iklim Bali selalu kondusif dan
memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang hidup di Bali.
Budaya Bali yang adi luhung mendukung
kehidupan alam Bali semakin religius dengan pesona Pulau Dewata yang sarat akan makna
Ritual dan Adat Istiadat yang menyatu dengan Agama Hindu yang ada di Bali. Etika, Ritual dan Filsafat bagi Hindu memang
selalu relevan dengan kondisi semua jaman yang bersifat Universal. Toleransi yang berkembang sudah sepanjang
jaman kehidupan di Bali menjadikan Bali semakin menarik saja bagi setiap orang
yang pernah mendengar Pulau Dewata ini.
Bali sudah banyak mendatangkan
kemuliaan bagi siapa saja yang mau toleransi dengan alam kehidupan pulau
Bali. Kemuliaan seperti logam mulia (
emas ) sebagai simbol yang memancarkan lima warna yang berbeda tetapi tetap
satu dalam pusatnya yang ada di tengah-tengah.
Panca Warna ini sudah selalu menjadi tradisi yang akan terus menjaga
Bali tetap mulia.
Emas atau Mas bagi sebutan orang
Bali, sebagai benda mulia yang selalu dikaitkan dengan makna magis spiritual
Bali. Pernahkah anda mendengar guyonan
ini ? Mas di Jawa Beli di Bali. Orang-orang Bali zaman dahulu jika mengatakan
tentang luar Bali maka akan di sebut Jawa, mungkin karena Pulau Jawa yang
berada di luar Bali. Banyak sudah orang-orang Jawa datang ke Bali dan banyak
pula yang telah menetap di Bali.
Sebagian besar Leluhur ( red : orang tua-orang tua kami di jaman dahulu )
kami orang Bali memang berasal dari tanah Jawa.
Sebagian lagi penduduk Asli Bali yang banyak menetap di Desa Trunyan dan
Tenganan. Banyak orang luar Bali mencari
kemuliaan di Bali. Beli adalah sebutan
bagi orang laki-laki yang ada di Bali.
Maka bisa jadi guyonan “ Mas di Jawa beli di Bali “, mempunyai arti
bahwa masing-masing mesti berada pada tempatnya agar selalu toleran dan
kondusif memegang tatanan dan amanah yang menjadi kewajibannya. Guyonan itu jika disalah tafsirkan bisa jadi
menjadi begini : Jikalau pendatang dari luar Bali ingin mengejar kemuliaan maka
akan datang ke Bali, Jika pendatang ingin mendapatkan mas maka mereka akan beli
di Bali. Emas memang tidak ada ditambang
di tanah Bali, tetapi mas itu sangat dimuliakan di Bali sebagai simbul
kemuliaan kekuatan sinar Panca Warna yang selalu hidup menjiwai alam Bali.
Kesadaran orang Bali, begitu pula
orang-orang yang sudah berkunjung atau menetap di Bali sudah semestinya dijiwai
oleh makna kemuliaan untuk selalu toleransi pada kehidupan yang harmonis agar
hidup rukun dan tentram yang selalu mewarnai masyarakat maupun alam Bali.
Banyak pula orang Bali yang
mengejar kemuliaan hidup di luar Bali, karena memang kemuliaan itu ada di mana
saja. Perlu diingat pula apabila sudah
mendapatkan mas sebagai tujuan hidup mulia di luar Bali, sudah semestinya turut
menjaga kemuliaan tanah luhur Bali. Jika
hanya mengejar kesenangan dalam hidup baik di Bali maupun luar Bali, maka
tujuan hidup mulia dan kemuliaan Bali lambat laun akan semakin pudar karena
kehilangan sinar Panca Warna yang sesungguhnya mulia. Era keemasan pulau Bali
akan kehilangan pamornya apabila kita sebagai orang Bali tidak bisa menjaga dan
mempertahankan Bali tetap eksis menjadi Bersih, Aman, Lestari dan Indah.
Fakta sudah banyak terjadi di Bali. Alam Bali sudah mulai penuh sesak oleh kepadatan penduduk, pemukiman, dan banyak fasilitas bisnis yang telah tidak sesuai dengan komposisi alam Bali yang kecil. Lalu lintas sudah sangat padat memenuhi jalan raya-jalan raya terutama di pusat kota seperti Denpasar, Kuta, Badung,Ubud dan sekitarnya. Siapakah yang akan peduli terhadap alam Bali ?
Para cerdik cendikiawan (para ahli), para tokoh masyarakat, dan para pemimpin Bali serta semua orang yang hidup di alam Bali sudah semestinya turut memberikan partisifasi guna dapat mengatasi permasalahan tentang telah sesak dan padatnya hidup penduduk Bali. Lalu bagaimana pula dengan pendapat dan sikap Kita ? Apakah hanya pasrah dan diam saja ? Kepasrahan saja tak akan pernah bisa memecahkan masalah yang ada di depan kita.